Tumpang Tindih Regulasi Masih Jadi Momok Biaya Logistik di Pelabuhan

1394
Foto: Kemenhub

JAKARTA, NMN – Penyebab masih tingginya biaya di pelabuhan salah satunya karena terjadinya tumpang tindih regulasi dari kementerian atau lembaga yang ada. Pemanfaatan digitalisasi secara optimal tentunya dapat memberikan efisiensi biaya di pelabuhan.

Mengutip data logistic cost di ASEAN, Indonesia menduduki peringkat yang cukup tinggi yakni 23,5% atau setara dengan Rp3.560 Triliun dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Untuk mengurai benang kusut tersebut, Stranas PK mendorong sejumlah aksi untuk mencapai efisiensi waktu dan menurunkan biaya logistik. Caranya, dengan memanfaatkan teknologi digitalisasi pada seluruh kegiatan di pelabuhan. Dengan digitalisasi, proses akan dapat terpantau secara transparan dan akuntabel.

Dengan demikian, nantinya semua pihak pemangku kepentingan akan punya tanggung jawab dan dapat melakukan pengecekan secara paralel. Sehingga akan terlihat runtunan yang jelas dari proses masuk kapal, bongkar muat, kapal berlayar, hingga muatan diterima di gudang-gudang industri.

“Siapa yang bertanggung jawab kenapa kapal bisa delay nanti akan kelihatan siapa yang melakukan apa dan kewenangannya terbagi dengan jelas,” kata Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Niken Ariati.

Di sisi lain, dengan digitalisasi ruang-ruang gelap di dalam regulasi bisa diminimalisir. Era digitalisasi juga akan memutus mata rantai birokrasi yang rumit seperti membawa formulir hard copy, keliling dari satu meja ke meja lainnya untuk mencari tanda tangan basah. Proses tersebut merupakan salah satu alasan mengapa proses di pelabuhan tidak efisien dan berdampak pada biaya yang membengkak.

Untuk itu, Stranas PK saat ini sedang menjalankan lima aksi di 14 pelabuhan yang menjadi piloting project di wilayah Indonesia. Pertama, menyelesaikan tumpang tindih regulasi, kedua, memperbaiki Tata Kelola Bongkar Muat (TKBM), ketiga, implementasi National Logistic Ecosystem (NLE), keempat, penerapan sistem layanan yang sama, kelima, perbaikan birokrasi dan penyedia layanan.

“Kami berharap tidak hanya kedatangan kapal yang sudah mulai membaik tapi juga keberangkatan kapal dipercepat. Mulai dari SSM pengangkut juga SSM pabaean karantina. Kalau bisa segera utilisasinya ditingkatkan,” ujar Niken.

Berdasarkan Dwelling Time Bank Dunia, yang mengukur waktu kontainer bongkar muat hingga keluar dari tempat penyimpanan sementara, skor Indonesia sudah mulai membaik yakni diangka 2.93. Angka ini akan semakin baik jika proses digitalisasi di pelabuhan berjalan secara menyeluruh tanpa kendala.

Dengan adanya digitalisasi layanan, ke depan pelaku usaha dapat melakukan traceability barang dan dokumennya sehingga dapat dipastikan kapan barang tersebut datang ke pelabuhan dan diturunkan di dermaga mana.

“Kelangkaan kontainer karena tidak ada digitalisasi dan kita tidak tahu ketika kapal masuk dan keluarnya ke mana. Ketika kita bisa melakukan tracking dan tracing itu kita tahu akan ke mana dia pergi. Dengan digitalisasi, kita bisa tahu barang itu ada di mana. Jadi teman-teman pelaku usaha bisa melihat dan merasakan keterbukaan itu,” kata Staf Ahli Bidang Manajeman Konektivitas Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Sahat Manaor Panggabean.

Masalah terbesar dari tingginya biaya logistik adalah transportasi dan inventori. Masifnya pembangunan infrastruktur, tentunya harus dimanfaatkan dengan optimalisasi transportasi dari pelabuhan ke kawasan industri.

Untuk mendorong itu, pemerintah terus berupaya proses port stay kapal di pelabuhan maksimal 24 jam saja. Pada proses itu tentunya, barang yang harus segera dikirim mulai dari pelabuhan ke gudang industri pun dilakukan dengan cepat.

“Harapan pelaku usaha adalah efisiensi, waktu, dan biaya. Kalau keluar masuk barang di pelabuhan cepat tentunya pendapatan untuk pertumbuhan ekonomi akan lebih cepat. Ketika ada kepastian, akan berimplikasi pada prodksi yang mereka lakukan. Dan digitalisasi sangat mungkin dilakukan,” kata Kepala Lembaga National Single Window (LNSW) Kementerian Keuangan Agus Rofiudin.

Saat ini, digitilasi layanan di pelabuhan juga sudah mulai berjalan. Pada proses pre custom clearance yang menyangkut soal perizinan impor kini sebagian besar juga sudah terintegrasi dengan LNSW. Bahkan sebagian besar juga sudah memakai sistem otomatis di mana persetujuan hanya membutuhkan beberapa menit saja.

Dengan demikian, saat ini sistem tidak lagi perlu menggunakan tanda tangan basah pejabat bewenang. Pengecekan data dan verifikasi pun dilakukan melalui sistem. Hal itu mencakup lintas kementerian dan lembaga, mulai dari pengecekan pajak dan proses karantina.

“Kemudian kecepatan importir mengajukan barang dan dokumen Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) itu juga menentukan (biaya) jadi sebelum barang tiba izin impor sudah bisa diselesaikan, bahkan sebelum barang datang pengiriman PIB sudah dilakukan sekarang.” kata Agus.

Selain itu, custom clearance di Bea Cukai untuk jalur hijau sudah 90% digital sehingga dalam hitungan menit sudah selesai. Sementara jalur merah yang memerlukan pemeriksaan fisik masih menjadi kendala, terkecuali di proses bongkar muat dilakukan di tempat pemberhentian sementara yang memiliki alat forklift sehingga bisa memangkas waktu.

“Post custom clearance juga pekerjaan rumah kita termasuk importir, karena sebagian nggak punya gudang dan dibiarkan menumpuk di pelabuhan. Ini juga mempengaruhi pengeluaran barang,” jelas Agus.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here