Masalah Teluk Jakarta. Masalah Partisipasi?

913
Wilayah-wilayah pesisir perkotaan memang identik dengan seribu satu masalah. Pada kenyataannya, banyak kota besar dibangun di sepanjang bantaran sungai dan pesisir laut, karena air menyediakan sarana transportasi dan komunikasi yang mudah bagi perdagangan. Ekosistem pesisir dan muara juga merupakan tempat yang ideal bagi perikanan dan pertanian untuk bertumbuh-kembang. Dalam perkembangan selanjutnya, pabrik-pabrik, pergudangan, rel kereta api dan dermaga-demaga biasanya menyesaki muka-air (waterfront) ketika pertumbuhan industri mulai menjelang.

Di samping sebagai satu-satunya sarana transportasi komoditas dalam jumlah besar sehingga kini, sungai-sungai dan perairan pesisir merupakan tempat pembuangan yang paling murah dan nyaman bagi limbah manusia dan industri. Konflik atas sumberdaya dan pemanfaatan ruang di antara kegiatan-kegiatan industri maju dan sektor-sektor yang lebih tradisional biasanya berujung pada terpinggirkannya yang belakangan, meski masih bertahan sekuat tenaga pada satu-satunya pijakan di wilayah-wilayah pesisir. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa sebagian muka-air perkotaan membusuk dan menjadi kawasan-kawasan kumuh di mana kejahatan dan pencemaran merajalela.

Gambar besar di atas sangat tepat bagi kondisi di muka-air kota Chennai, negara bagian Tamil Nadu, India. Meski dipenuhi dengan komunitas-komunitas nelayan, para nelayan itu bahkan tidak dianggap sebagai salah satu pemuka kepentingan dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir perkotaan. Peraturan Negara Bagian Tamil Nadu mengenai Perencanaan Perkotaan dan Pedesaan 1971 menentukan bahwa pelaksanaan perencanaan harus peka terhadap segi-segi budaya, “terutama merujuk pada gaya hidup dan pola-pola penghidupan komunitas-komunitas nelayan.” Akan tetapi, pelaksanaan Peraturan tersebut ternyata bertolak belakang.

Komunitas-komunitas nelayan di Chennai, Tamil Nadu, yang telah menghuni kawasan pesisir selama berabad-abad tidak diakui haknya atas ruang-ruang daratan dan perairan pesisir. Lebih buruk lagi, Pemerintahnya melabeli mereka sebagai “penyerobot tanah dan penghuni kawasan kumuh.” Seakan tidak cukup, kegiatan-kegiatan industri di sepanjang garis pantai juga memberikan tekanan berat pada lingkungan dan, karena itu, mata pencarian mereka. Perikanan di sepanjang jalur-jalur air Kota Chennai hampir berada dalam keadaan jalan-di-tempat karena badan air ini tak ayal telah menjadi pelimbahan bagi segala macam sampah industri maupun rumah-tangga. Polusi dan kerusakan lingkungan telah berdampak demikian serius pada perikanan, satu-satunya sumber mata pencarian bagi komunitas-komunitas nelayan Chennai.

Keadaan yang mirip dapat pula dijumpai dalam konteks Teluk Jakarta. Pertumbuhan industri yang pesat terjadi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan terlebih dalam 20 tahun terakhir. Di bagian daratan Teluk Jakarta, sekitar 2050 industri berkerumun di garis pantai, kebanyakan tidak memiliki pengolahan air limbah yang memadai dan membuang limbah langsung ke sungai atau laut. Tampilan demografik Teluk Jakarta yang mencolok adalah meningkatnya populasi nelayan musiman.

Dari 5,631 orang pada 1990, jumlah itu berlipat ganda dalam 10 tahun menjadi 11,552. Tren ini meresahkan karena lingkungan pesisir Teluk Jakarta yang telah kelebihan beban tampaknya tidak akan mampu menopang pertumbuhan populasi sepesat ini. Dengan populasi keseluruhan sebesar kira-kira 11.5 juta di Jabodetabek ditambah sekitar 10 juta lagi dari daerah-daerah pinggirannya, dapat dibayangkan beban ekologik yang harus ditanggung Teluk Jakarta.

Pertumbuhan pesat industri di wilayah pesisir yang terjadi terutama sejak awal abad ke-20 telah mengakibatkan dampak sosial dan ekologik yang cukup serius. Teluk Jakarta mungkin merupakan pelabuhan paling tercemar di Asia dan perikanannya pun sudah sangat sedikit yang masih utuh. Perikanan yang masih bertahan tidak memiliki struktur asli dan terdiri dari spesies yang lebih oportunistik yang mampu bertahan dalam perairan yang kini sudah sangat tercemar. Kerusakan lingkungan yang sangat parah ini kemungkinan besar disebabkan oleh kombinasi antara perkembangan industri yang tidak berkelanjutan di masa lalu dan kurangnya koordinasi yang terus-menerus dalam pengelolaannya.

Akhirnya, dapatlah kiranya diajukan suatu pertanyaan yang sah: Akankah berbeda hasilnya jika sedari awal para nelayan dan masyarakat pesisir dipandang sebagai pemangku-kepentingan kunci dalam pembangunan wilayah pesisir Teluk Jakarta? Bagaimanapun, merekalah yang bergantung hampir sepenuhnya pada lingkungan dan sumberdaya pesisir bagi mata pencahariannya. Nelayan dan masyarakat pesisir, karena itu lebih memiliki insentif untuk berpegang erat-erat dan menjaga kuat-kuat satu-satunya sarana untuk bertahan hidup tersebut. Tidaklah kebetulan jika kehancuran ekologik berbanding lurus dengan kehancuran mereka, bukan?

 

Bono Priambodo
Redaktur Ahli NMN

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here