JAKARTA, NMN – Pandemi COVID-19 langsung berdampak pada industri pariwisata, termasuk sektor pariwisata bahari. Sektor pariwisata menjadi sektor yang paling awal terdampak,bersisiko tertular salah satu yang paling tinggi, berpotensi paling terpuruk dan pulih paling akhir.
Pada saat awal Pandemi Covid-19, World Tourism Organization (UNWTO)/Organisasi Pariwisata Dunia mencatat terjadinya penurunan signifikan terhadap angka perjalanan wisata internasional hingga -50% YoY (Januari-Mei 2020 dibandingkan Januari-Mei 2019). Terjadi hilangnya devisa wisata sebesar 320 miliar USD, tiga kali lipat lebih besar dari krisis ekonomi global 2009.
Di Indonesia sendiri, jumlah kujungan wisata mancanegara (wisman) pada bulan Mei 2020 mengalami penurunan sebesar 86,90% dibandingkan dengan Mei 2019. Secara kumulatif (periode Januari-Mei 2020), jumlah kunjungan wisman ke Indonesia adalah sebesar 2,93 juta (turun sebesar 53,36) dibandingkan dengan jumlah wisman pada periode yang sama di tahun 2019.
Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel di klasifikasi bitang di Indonesia pada Mei 2020 rata-rata adalah sebesar 14,45% atau turun 29,08% dibandingkan Mei 2019. Ribuan usaha di sektor pariwisata sangat terdampak negatif, sehingga sekitar 13 juta tenaga kerja sektor pariwisata diberhentikan dari tempat kerjanya.
Sektor pariwisata di Indonesia memberi kontribusi kedua devisa terbesar di Indonesia, salah satunya adalah wisata bahari, yang tidak hanya mengandalkan keindahan potensi sumberdaya laut namun juga budaya tradisional masyarakat pesisir.
Namun sejak pandemic COVID-19 melanda, sektor wisata bahari mengalami dampak yang signifikan. Antara lain penurunan jumlah pengunjung destinasi wisata, kehilangan pekerjaan oleh pelaku usaha wisata bahari, yang berimplikasi pada usaha turunan di bawahnya yang melibatkan masyarakat pesisir.
“Untuk memulihkan ekonomi masyarakat pesisir, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merumuskan 2 (dua) strategi yaitu pengelolaan destinasi wisata bahari berbasis masyarakat melalui program Desa Wisata Bahari (Dewi Bahari), dan program padat karya untuk menyerap tenaga kerja yang terdampak COVID-19,” kata Direktur Jasa Kelautan Ditjen Pengelolaan Ruang KKP Miftahul Huda.
Tujuan dari Program Dewi Bahari adalah untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi masyarakat pesisir, perbaikan lingkungan pemukiman masyarakat pesisir dan rehabilitasi ekosistem, perubahan perilaku masyarakat pesisir dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya dan pelestarian adat dan budaya maritim. Dewi Bahari diharapkan akan menggerakkan ekonomi lokal.
Program pengembangan Dewi Bahari merupakan amanat pemerintah untuk mengembangkan dan mendukung program prioritas nasional di bidang pariwisata dalam meningkatkan devisa Negara serta pendapatan masyarakat. Program ini juga merupakan salah satu cara agar masyarakat dapat melestarikan lingkungan pesisir dan laut sekaligus mengembangkan potensi lokal melalui sektor pariwisata.
Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Rizki Handayani mengatakan pihaknya sidah mendukung sejak lama pengembangan desa wisata, termauk desa wisata bahari. “Kami sudah mendukung pengembangan Indonesia menjadi destinasi kapal pesiar,” kata Rizki.
Bicara mengenai kapal pesiar, tentu ada dua potensi ceruk pasarnya. Pertama, adalah kapal pesiarnya itu sendiri. Kedua, para penumpung maupun awak kapal pesiar tersebut.
Ketika mengembangkan ceruk pasar kapal pesiar, tentunya tidak hanya destinasi wisata saja yang dijual oleh Indonesia. Tapi sebenarnya, bersama-sama dengan Pelindo, dipasarkan pula jasa kepelabuhan tempat bersandarnya kapal-kapal pesiar. Namun, tantagan yang ada adalah Indonesia mesih memiliki dermaga yang terbatas untuk mendukung pariwisata bahari.
Dalam rangka pemulihan ekonomi masyarakat pesisir, pemerintah juga mendorong pengembangan investasi jasa di sektor pariwisata melalui kedatangan kapal wisata (yacht). Diharapkan, dengan banyaknya yacht yang mengunjungi destinasi wisata di Indonesia, tentunya akan menggerakkan desa wisata bahari.
Yacht saat ini telah menjadi salah satu prioritas dalam pengembangan wisata bahari atau wisata maritim. Yacht itu sendiri merupakan alat angkut perairan yang berbendera asing dan digunakan sendiri oleh wisatawan untuk berwisata atau melakukan perlombaan-perlombaan di perairan baik yang digerakkan tenaga angin dan atau tenaga mekanik dan digunakan hanya untuk kegiatan non niaga. Negara maritim adalah negara yang berada dalam kawasan laut yang luas.
Beberapa tantangan dalam mengembangkan pariwisata yacht, yaitu ekosistem yang perlu saling terkait dan mendukung, seperti sumber daya manusia, infrastruktur/marina, regulasi perijinan satu pintu melalui platform digital seperti perijinan terkait visa, tenaga kerja asing, karantina, bea dan cukai dan sebagainya termasuk SOP pemeriksaan.
Untuk menarik investasi di sektor pariwisata melalui kedatangan yacht di Indonesia, perlu juga relaksasi dan insentif yang diberikan kepada pelaku usaha seperti insentif perpajakan serta kemudahan fasilitas di kepabeanan, kemigrasian, karantina, dan kepelabuhan.
Mengembangkan investasi sektor jasa terutama sektor pariwisata untuk mendatangkan kapal pariwisata itu di Indonesia merupakan tantangan tersendiri, tetapi peluang itu sangat besar dan menarik. Digitalisasi dan sinkronisasi terkait kemudahan perijinan serta insentif bagi pelaku usaha menjadi salah satu pendorong peningkatan investasi ini.
Saat ini koordinasi dan kerja sama berbagai pemangku kepentingan menjadi kunci utama meningkatnya investasi jasa sektor pariwisata ini dengan menggunakan mindset dan cara-cara baru yang menyesuaikan dengan kondisi New Normal.
“Indonesia merupakan negara maritim yang berada di kawasan laut yang luas dengan kepulauannya yang ribuan jumlahnya, tentunya marine tourism seharusnya menjadi unggulan dari indonesia. Untuk itu, tentunya kita perlu mengubah mindset atau model bisnis, dari model tradisional menjadi model new normal yang memperhatikan protokol Covid,” kata Asisten Deputi (Asdep) Investasi Bidang Jasa Kemenko Marves, Farah Heliantina.