Indonesia memiliki potensi panas bumi yang cukup besar, total cadangan yang ada saat ini diperkirakan mencapai 27.000 MW, tapi baru sekitar 4,0 persen yang baru dimanfaatkan. Hal ini dikarenakan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) terhambat masalah kesepakatan harga dengan PLN.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Abadi Poernomo mengungkapkan rendahnya pengembangan panas bumi masih berkutat pada masalah klasik. “Kesepakatan harga listrik dengan PLN. Apalagi, selama ini Indonesia terlalu menikmati rendahnya bahan bakar fosil,” kata Abadi di Jakarta, pekan lalu.
Dijelaskannya, pada tahun 1980-an hingga 1990-an, disaat harga minyak dunia begitu rendah, PLN lebih banyak menggunakan energi fosil itu untuk bahan bakar pembangkit listrik.
Kemudian, saat negara lain sudah mulai meninggalkan energi fosil untuk listriknya, pemerintah malah memperbanyak pembangunan PLTU yang berbahan bakar batu bara.
“China yang 80% pakai batu bara sudah mulai ganti. Kita malah berlomba-lomba pakai batu bara di proyek 35.000 MW. Di situ memang disebutkan energi baru terbarukan bisa 32% di 2025, saya kira itu bisa jadi trigger,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yunus Saefulhak. Menurutnya, kesepakatan harga antara PT PLN dan pengembang geothermal dalam mengembangkan pembangkit listrik terkadang menemui jalan buntu.
“Masalah ada di pricing, kita tahu energi geothermal punya keekonomian tersendiri. Tapi bagi PLN yang jadi single buyer, itu didasarkan atas biaya pokok penyediaan. Kalau mau bisnis geothermal, tentu lebih mahal dari batu bara,” kata Yunus.
Meski demikian, lanjut Yunus, yang menghambat pengembangan panas bumi bukan hanya kesepakatan harga. Masalah lain yang teridentifikasi adalah pembebasan lahan dan adanya resistensi masyarakat di lokasi pembangkit.
“Resistensi masyarakat ada dua hal, pertama karena kemampuan (pemahaman) masyarakat atas sumber daya, masih ada anggapan geothermal itu seperti kasus Lapindo, padahal itu berbeda,” jelasnya.
Penulis: Ismadi Amrin