Kapal RI Tak Berdaya

440

Investasi kapal tuna yang beroperasi di laut lepas perlu didorong. Saat ini kapal tuna Indonesia tak berdaya mengisi laut lepas dan memenuhi kuota tangkapan tuna yang ditetapkan organisasi pengelolaan perikanan regional. Saat ini terdapat 276 kapal tuna di Indonesia.

Hal ini terungkap dalam diskusi bertema “Kebutuhan Regulasi dalam Tata Kelola Tuna di Indonesia,” di Jakarta, Senin (20/11). Indonesia tercatat dalam keanggotaan tiga organisasi internasional di bawah Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO) terkait pengaturan penangkapan tuna di laut lepas. Ketiga organisasi itu adalah Komisi Tuna Samudra Hindia (IOTC), Komisi Perikanan Pasifik Tengah dan Barat (WCPFC), dan Komisi Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT).

Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria, yang juga rektor terpilih IPB 2017-2022, mengatakan, penurunan jumlah. Kapal tuna di Indonesia antara lain dipicu regulasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait penghentian alih muatan kapal yang menyebabkan ketiadaan kapal pengangkutan ikan. Akibatnya, kapal penangkap tuna harus bolak-balik dan proses produksi tuna menjadi tidak efisien.

Larangan alih muatan kapal seiring kebijakan pemerintah untuk memberantas penangkapan ikan ilegal tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF).

Arif menilai, penyusunan regulasi sebagai jalan tengah perlu dikaji. Regulasi itu untuk mengimplementasikan pemberantasan IUUF dan mendorong kelestarian perikanan serta mendorong pertumbuhan ekonomi. “Semua harus seimbang dan berjalan dengan baik agar sektor perikanan bisa memberikan kontribusi kepada perekonomian kita,” katanya.

Di sisi lain, ia menyoroti ketidakadilan penentuan kuota tangkapan tuna. Masih banyak negara yang tidak punya akses langsung terhadap sumber daya tuna, tetapi mendapat kuota tangkapan yang besar.

Kuota Indonesia untuk penangkapan tuna sirip biru tergolong paling rendah jika dibandingkan dengan negara-negara anggota CCSBT. Kuota terbesar didapatkan Australia sebesar 6.165 ton, disusul Jepang 4.737 ton. Padahal, Jepang tidak memiliki akses langsung terhadap tuna sirip biru di perairan selatan.

“Lokasi pemijahan tuna sirip biru ada di perairan selatan Jawa dan Bali. Seharusnya, Indonesia memperoleh kuota pengangkapan tuna terbesar,” ujarnya.

Kuota tak tercapai

Arif menambahkan, kendati kuota penangkapan ikan Indonesia di laut lepas masih rendah, Indonesia tertinggal dalam pemanfaatan kuota tersebut. Hasil tangkapan tuna sirip biru Indonesia per 1 September 2017 hanya 288,04 ton. Hingga akhir tahun, tangkapan diperkirakan tidak akan memenuhi kuota 750 ton. Tangkapan ini jauh di bawah tahun sebelumnya, yakni 600,64 ton pada 2016 dan 529,94 ton pada 2015.

Pada 2018-2020, kuota penangkapan tuna sirip biru naik menjadi 1.023 ton per tahun.

“Dengan kuota yang ada saja kita tidak bisa memenuhi, apalagi kuota ditambah. Investasi kapal tuna diharapkan bisa segera terwujud agar penambahakan kuota tuna tidak sia-sia,” ujarnya.

Arif menambahkan, untuk memenuhi kuota penangkapan tuna mata besar 5.889 ton per tahun di Samudra Pasifik bagian tengah dan barat, Indonesia perlu menambah kapal rawai (long line) setara 15.704 gros ton (GT). Dengan asumsi kapasitas kapal tuna 100 kilogram, maka dibutuhkan penambahan 157 kapal tuna. Di Samudra Hindia, pemanfaatan kuota tangkapan juga membutuhkan penambahan kapal tuna setara 13.565 GT atau setara 135 kapal berukuran 100 GT.

Kepala Pusat Riset Perikanan KKP Toni Ruchimat mengemukakan, Indonesia wajib berpartisipasi dalam pengelolaan laut internasional. Kenyataannya, tidak banyak kapal tuna yang beroperasi di laut lepas. “Indonesia masih belum memanfaatkan laut lepas,” katanya.

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Hendra Sugandhi, ketidakmampuan Indonesia memanfaatkan laut lepas menguntungkan Papua Niugini. Dalam tiga tahun terakhir, ekspor tuna Papua Niugini melonjak 15 kali lipat hingga menduduki peringkat pertama dunia untuk ekspor hasil tangkapan tuna.

Secara terpisah, Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Hand Line Indonesia (AP2HI) Janti Djuari mengungkapkan, masih sulit mengharapkan investasi kapal tuna di laut lepas karena ketidakpastian hukum akibat regulasi yang berubah-ubah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here