Laut adalah masa depan bangsa. Adalah tugas kita bersama buat menjaganya. Terutama andil pemerintah dalam memastikan keamanan dan pemanfaatan kekayaan laut Indonesia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan dikaruniai panjang garis pantai 108.000 km, serta jumlah pulau lebih dari 17 ribu, kekayaan laut Indonesia begitu menggoda. Sumber daya laut melimpah ini nyatanya bak pedang bermata dua. Membawa berkah sekaligus dihadapkan atas berbagai masalah.
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) melakukan riset dalam rentang dua tahun terakhir. Riset tersebut menunjukkan setidaknya ada 6 garis besar masalah di sektor kelautan Indonesia.
CEO IOJI Mas Achmad Santosa membeberkan, 6 permasalahan tersebut mulai dari status pengarusutamaan pembangunan ekonomi kelautan berkelanjutan. Kemudian pengelolaan ekosistem karbon biru.
Selanjutnya, keamanan maritim yang terdiri dari ancaman kedaulatan dan hak berdaulat kapal asing serta penanganan sampah plastik di laut.
Adapun masalah keempat adalah soal perlindungan hak asasi manusia (HAM) pekerja migran Indonesia pelaut perikanan. Kemudian dua permalasahan lainnya yakni kebijakan pengelolaan penangkapan ikan terukur serta perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil.
Terkait persoalan pertama, Mas Achmad Santosa mengungkapkan tantangan terbesar saat ini yakni tidak tersedianya data yang akurat mengenai kekayaan laut, kesehatan laut, distribusi manfaat sumber daya kelautan secara berkeadilan, pembiayaan transformasi pembangunan kelautan hingga literasi kelautan.
“Data ini diperlukan untuk mengembangkan rencana pembangunan ekonomi nasional berkelanjutan. Arahan dan komitmen Indonesia di tingkat nasional harus ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh dengan menyusun rencana pembangunan laut berkelanjutan,” ujar Sekretaris Pandu Laut Nusantara itu saat merilis hasil riset IOJI pada Jumat (7/1/2022).
Sementara dalam pengelolaan ekosistem karbon biru, masalah yang timbul adalah terjadinya duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan antarkementerian dan lembaga. Selain itu juga kebijakan penataan ruang untuk melindungi ekosistem karbon biru (EKB) juga perlu menyelesaikan masalah penyusunan tata ruang berdasarkan inventarisasi lingkungan hingga pengawasan penegakan hukum secara konsisten.
Di sektor ini juga terdapat konflik tenurial yang berkaitan dengan kepemilikan lahan masyarakat, serta masalah belum tersedianya data total luasan padang lamun di Indonesia.
Kemudian, terkait keamanan laut ada ancaman illegal fishing terutam oleh kapal ikan asing Vietnam di Laut Natuna Utara. Termasuk adanya ancaman terhadap hak berdaulat oleh kapal-kapal Tiongkok serta ancaman sampah plastik yang dibuang ke laut oleh berbagai jenis kapal yang beraktivitas di lautan.
Dari segi perlindungan pekerja migran pelaut, pemerintah Indonesia belum memiliki kesepahaman dalam mengatur otoritas yang punya kewenangan dalam mengatur perlindungan dan penempatan pekerja migran Indonesai pelaut perikanan (PMI PP).
“Lemahnya perlindungan PMI PP juga disebabkan oleh ketiadaan bilateral arrangement antara pemerintah Indonesia dengan negara bendera kapal di mana PMI ditempatkan, yaitu Taiwan dan Tiongkok,” jelas Mas Achmad Santosa.
Sistem kontrak dalam pemanfaatan sumbed daya ikan Indonesia berpotensi mendegradasi peran negara dalam menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan hingga pengelolaan penangkapan ikan terukur.
Rencana mengizinkan badan usaha asing mendapatkan kontrak pemanfaatan sumber daya ikan di ZEE Indonesia mesti disikapi hati-hati. Sebab menurut IJO, berkaca dari pengalaman yang sudah-sudah, saat kapal asing diperbolehkan menangkap ikan muncul praktik penggandaan izin, hingga terjadinya underreported dan transshipment ilegal.
Permasalahan terakhir yang dikemukakan dalam riset IOJI, yakni perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil. IOJI meneliti di sejumlah pulau mulai dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara hingga Nusa Tenggara Timur.
Penelitian tersebut menampung setidaknya 7 persoalan yang dihadapi nelayan kecil. Mulai dari sulitnya mengakses bantuan sampai kurangnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya, sarana dan prasarana tidak memadai, tidak efektifnya program Kartu Nelayan, Kurangnya sosialisasi dan pelatihan, sampai terbatasnya akses pasar dan terakhir terbatasnya sumber permodalan.
“Ke depan, implementasi UU Nelayan Kecil perlu dilaksanakan secara sungguh-sungguh oleh DPR, pemerintah, dan pemerintah daerah. Dari sisi anggaran, DPR juga perlu menambah jumlah anggaran pemberdayaan nelayan kecil, terutama berkaitan dengan anggaran untuk asuransi,” ujar Mas Achmad Santosa.