PT Pelabuhan Indonesia (Persero) terus berupaya memperbaiki ekosistem kepelabuhanan di Indonesia. Saat ini PT Pelindo Terminal Petikemas, salah satu anak perusahan dari PT Pelindo sedang mempersiapkan kajian mengenai kemungkinan menjadikan TPK Sorong sebagai pusat aktivitas (hub) peti kemas di wilayah Indonesia Timur.
Selama ini beberapa perusahaan pelayaran masih menggunakan kapal-kapal berkapasitas 600-1.000 teus untuk pengiriman peti kemas. Kapal tersebut harus singgah di beberapa pelabuhan sebelum akhirnya tiba di pelabuhan tujuan akhir. Dengan adanya terminal peti kemas yang berfungsi sebagai pusat aktivitas, maka diharapkan pengiriman peti kemas dapat dilakukan dengan kapal dengan ukuran yang lebih besar.
Corporate Secretary PT Pelindo Terminal Petikemas Widyaswendra mengatakan penyiapan TPK Sorong sebagai pusat aktivitas peti kemas dapat mendorong efektifitas pengiriman ke wilayah Indonesia Timur.
“Ada lebih dari satu perusahaan pelayaran yang memiliki jangkauan hingga ke Indonesia Timur, kami dorong untuk dapat berkolaborasi. Peti kemas dari Jakarta atau Surabaya diangkut dengan kapal kapasitas 1.500-3.000 teus sampai ke TPK Sorong, setelah itu didistribusikan ke pelabuhan lain yang dalam jangkauan dengan kapal berukuran lebih kecil,” kata Widyaswendra (13/2).
PT Pelindo Terminal Petikemas juga akan melakukan sejumlah tranformasi lanjutan maupun investasi untuk menyiapkan segala fasilitas dan layanan yang terbaik bagi pengguna jasa, karena selain selain sebagai hub, TPK Sorong rencananya akan dijadikan sebagai pusat aktivitas peti kemas.
“Potensi arus peti kemas ketika TPK Sorong nantinya sekitar 243.000 teus. Saat ini kami sedang dalam proses kajian yang lebih menyeluruh, termasuk juga melibatkan para pengguna jasa. Hal ini untuk membuat keputusan yang lebih tepat sehingga program yang direncanakan dapat memberikan manfaat bagi industri kepelabuhanan dan pelayaran di Indonesia,” lanjutnya.
Kajian tersebut meliputi analisa rute eksisting yang saat ini menjadi jalur kapal peti kemas, analisa kawasan pendukung dan penyangga (hinterland), analisa mengenai konsolidasi muatan, juga mengenai desain rute baru yang diusulkan.
Arus peti kemas di TPK Sorong sendiri pada periode tahun 2022 lalu tercatat sebanyak 48.048 teus. Beberapa pelabuhan yang masuk dalam jangkauan terdekat seperti TPK Jayapura sebanyak 95.431 teus, Pelabuhan Nabire 31.138 teus, Pelabuhan Bintuni 11.100 teus, Pelabuhan Manokwari 40.982 teus, Pelabuhan Biak sebanyak 13.376 teus.
Saut Gurning, pengamat sekaligus dosen Teknik Sistem Perkapalan ITS, menilai sebagai negara kepulauan, konsep untuk menjadikan TPK Sorong sebagai pusat aktivitas peti kemas di Indonesia Timur merupakan hal yang tepat. Keberadaan pelabuhan yang berfungsi sebagai hub dan penggunaan kapal berkapasitas besar akan meningkatkan jumlah kunjungan kapal dan jumlah peti kemas yang dapat diangkut oleh kapal, sehingga berdampak pada biaya logistik secara bertahap.
Kondisi sistem logistik saat ini dengan banyak rute pelabuhan dan jumlah peti kemas yang terbatas menjadi salah satu faktor biaya logistik di Indonesia Timur cukup tinggi. Selain itu penyebab tingginya biaya logistik adalah muatan yang kembali dari wilayah timur ke wilayah barat yang masih didominasi oleh peti kemas kosong.
Salah satu solusi yang memungkinkan saat ini, menurut Saut adalah penyiapan fasilitas konsolidasi untuk komoditas hasil tangkapan laut yang memiliki potensi cukup tinggi. Bahkan, keberadaan pusat aktivitas peti kemas di Indonesia Timur dapat menjadi area persinggahan (transhipment) bagi peti kemas luar negeri yang melayani rute Jepang-Australia ataupun rute luar negeri lainnya.
“Tantangan terbesar memang berkaitan dengan muatan yang kembali dari timur. Namun dengan konsep penggunaan kapal besar (mother vessel) dari Jakarta atau Surabaya ke Sorong setidaknya dapat membantu dalam menekan biaya logistik, tentunya hal ini perlu dilakukan kajian secara menyeluruh untuk mengetahui tingkat efisiensi yang dihasilkan,” tutupnya.